Tiba-tiba, Son Heung-Min memilih pergi dari London. Berikut fakta haru kepergiannya!
Tahun 2025 ini menjadi sebuah masa perpisahan bagi Son Heung-Min dan karir panjangnya di sepak bola Inggris. Membela Tottenham Hotspur sejak 2015, musim ini Son pindah ke Amerika Serikat dan berpisah dengan liga yang membesarkan namanya.
Berakhirnya kisah indah ini gak cuma membawa air mata bagi para fans saja, namun juga menjadi sebuah akhir haru bagi gemilangnya karir sang pemuda asal Korea Selatan. Berikut adalah 5 fakta haru tentang kepindahan Song Heung-Min.
Baca juga: 60 Caption Lucu Bahasa Inggris, Asik Tapi Tetap Aesthetic!
Liga tempat Son kelak bermain, yaitu Major League Soccer (MLS) adalah liga yang gak asing, karena ada bintang Indonesia, Maarten Paes dan goat Lionel Messi di sana. Makanya langsung langganan Vidio Platinum biar bisa nonton aksi mereka.
Nah, mari kita cari tahu sambil apresiasi perjuangan Son Heung-Min selama berkarir di Inggris!
Setelah satu dekade menjadi ikon Tottenham Hotspur dan wajah sepak bola Asia di Liga Inggris, Son Heung-Min akhirnya menutup lembaran panjang petualangannya di Inggris.
Keputusan yang tak hanya mengguncang para penggemar Spurs, tapi juga menggugah hati jutaan pecinta sepak bola di seluruh dunia. Di balik statistik gemilang dan gol-gol memukau, ada kisah yang lebih dalam: tentang dedikasi, pengorbanan, dan momen-momen emosional.
Berikut lima fakta haru dari berakhirnya perjalanan Son Heung-Min di negeri Ratu Elizabeth:
Dalam sebuah konferensi pers yang digelar di Seoul, Son Heung-Min berdiri di depan awak media dengan mata yang nyaris berkaca-kaca. Ia mengumumkan bahwa musim panas 2025 ini menjadi akhir dari kisahnya bersama Tottenham Hotspur.
Son akan melanjutkan karirnya di Major League Soccer di Amerika Serikat bersama Los Angeles FC. Kepindahan ini terbilang cukup mengagetkan, mengingat umur Son yang terbilang masih bisa bersaing di level Eropa.
Ia menyebut keputusan ini sebagai yang paling sulit dalam hidupnya—bukan hanya sebagai pesepakbola, tetapi sebagai manusia. Bagaimana tidak? Son datang ke Tottenham pada tahun 2015 dari Bayer Leverkusen.
Saat itu, dia hanyalah seorang pemain muda Asia yang dipenuhi harapan. Namun dalam waktu sepuluh tahun, dia menjelma menjadi legenda. Memutuskan meninggalkan tempat yang sudah menjadi rumah tentu bukan perkara mudah.
Son mengungkap bahwa banyak faktor yang membuatnya mengambil keputusan ini, mulai dari tantangan baru hingga pertimbangan pribadi. Tapi satu hal yang pasti: ia pergi dengan hati penuh cinta dan rasa syukur. “Tottenham akan selalu ada di hati saya,” katanya dengan suara lirih namun mantap.
Ironis sekaligus indah, Son justru menutup masa baktinya dengan memberikan sesuatu yang telah lama dinanti publik Tottenham: trofi.
Setelah bertahun-tahun gagal dalam berbagai final—termasuk kekalahan menyakitkan di final Liga Champions 2019—Son akhirnya mempersembahkan trofi nyata: juara Liga Europa 2025.
Trofi itu tidak hanya menjadi simbol kemenangan, tapi juga penebusan. Penebusan atas kerja keras bertahun-tahun, penebusan atas momen-momen pahit yang harus dia hadapi di masa lalu.
Dan yang paling emosional, itu adalah trofi profesional pertamanya bersama klub, setelah sekian lama berjuang tanpa imbalan berbentuk piala. Para pendukung Spurs menyambut kemenangan itu dengan haru.
Di antara mereka, banyak yang menitikkan air mata bukan hanya karena klub menang, tapi karena mereka tahu, ini adalah persembahan terakhir dari kapten kesayangan mereka.
Baca juga: 5 Fakta Unik Derby Panas Manchester United vs Manchester City
Ada sesuatu yang simbolis dari perpisahan Son: laga terakhirnya bersama Tottenham berlangsung bukan di London, melainkan di Seoul, Korea Selatan.
Sebuah pertandingan pra-musim melawan Newcastle United yang awalnya hanya dianggap sebagai persiapan biasa, berubah menjadi malam penuh makna.
Di hadapan ribuan pendukung di Seoul World Cup Stadium, Son tampil untuk terakhir kalinya dengan seragam Spurs. Suasana berubah emosional sejak awal. Ketika namanya disebut saat pengumuman pemain, stadion bergemuruh. Setiap sentuhan bola disambut tepuk tangan meriah.
Namun momen paling menyentuh datang di menit ke-60, ketika pelatih menggantinya. Kedua tim membentuk guard of honour, memberikan penghormatan terakhir untuk sang bintang.
Penonton berdiri, menyanyikan lagu-lagu untuknya, sementara Son berjalan ke pinggir lapangan dengan air mata yang tak bisa ia tahan.
Malam itu bukan hanya perpisahan dengan klub, tapi juga pertemuan simbolis antara seorang anak bangsa dan negaranya—kembali sebagai pahlawan yang telah mengukir sejarah.
Banyak pemain hebat yang meninggalkan klub dengan kepala tegak, namun hanya sedikit yang pergi dengan cinta sebesar ini. Son adalah satu dari sedikit pemain yang mampu memadukan performa gemilang dengan kepribadian yang rendah hati dan hangat.
Maka tak heran jika perpisahannya begitu emosional. Ketika ia duduk di bangku cadangan seusai ditarik keluar, kamera menangkap momen langka: Son menangis.
Bukan tangis kecewa, tapi tangis yang menyiratkan rasa sayang, rasa kehilangan, dan rasa terima kasih yang mendalam. Di layar stadion, wajahnya terpampang besar, dan penonton serempak menyanyikan chant untuknya.
Rekan-rekannya menghampiri, satu per satu memeluknya. Bahkan beberapa pemain Newcastle ikut memberikan salam perpisahan. Ini bukan sekadar pertandingan; ini adalah perayaan cinta terhadap seorang pesepakbola yang telah memberikan segalanya—bukan hanya gol, tapi juga hati.
Son sendiri menyebut momen itu sebagai “perfect moment”. Ia merasa diberkati bisa mengucapkan selamat tinggal di hadapan keluarganya, di negaranya sendiri, dengan para penggemar yang ia cintai.
“Saya tak bisa meminta momen perpisahan yang lebih indah dari ini,” ucapnya kemudian.
Statistik Son selama 10 tahun di Tottenham adalah catatan sejarah. Ia mencetak 173 gol dan lebih dari 100 assist dalam 450-an penampilan. Ia adalah pemain asing tersubur dalam sejarah klub, dan salah satu dari lima pencetak gol terbanyak sepanjang masa Spurs.
Namun lebih dari angka, warisan Son ada dalam bagaimana ia membawa nama klub. Ia bukan hanya pemain cepat dengan kaki kiri yang tajam. Ia adalah kapten yang memimpin dengan memberi contoh.
Son adalah pribadi yang selalu tersenyum di tengah tekanan, menjadi simbol figur positif dalam sepak bola modern yang kental akan persaingan dan rivalitas.
Anak-anak muda Asia tumbuh dengan mimpi bermain di Eropa karena melihat Son.
Apa yang dia tinggalkan di Tottenham bukan hanya jejak di papan skor, tapi juga di hati para penggemar. Dan meskipun ia akan melanjutkan kariernya di tempat baru—kabarnya di MLS bersama LAFC—bagi banyak orang, Son akan selalu menjadi "Mr. Tottenham”.
"Pria yang menolak pergi hanya untuk uang, pria yang bertahan melewati masa-masa sulit, pria yang pada akhirnya pergi dengan kepala tegak dan hati yang penuh cinta.
Baca juga: 5 Target Besar Ruben Amorim di Manchester United Musim Depan
Selain ada Maarten Paes dan Lionel Messi, MLS musim ini bakalan seru banget karena kedatangan Song. Nah, langsung aja langganan Vidio Platinum biar gak ketinggalan setiap laga serunya.
Short Video baru dan seru
Pemain Sepak Bola Favorit Dunia, Kamu Juga?
Sejarah Sepak Bola yang Menarik Buat Dikulik
Pemain Sepak Bola dengan Performa Terbaik Jelang Piala Dunia
Formasi Sepak Bola Terbaik dan Kelebihannya